kolmas Volume 1, Issue 2, Page 50-57, 2025
e-ISSN 3109-0354
p-ISSN
DOI

Muslikatul Mukaromah1, Agus Riyadi1
1Department of Islamic Community Development, Faculty of Da‘wah and Communication, State Islamic University of Walisongo Semarang, Indonesia
Corresponding: agus.riyadi@walisongo.ac.id (Agus Riyadi).
Pemberdayaan ekonomi perempuan masih menjadi tantangan mendesak di banyak wilayah berkembang, termasuk Indonesia, dimana ketidaksetaraan struktural membatasi akses terhadap sumber daya, peluang, dan proses pengambilan Keputusan (1). Perempuan Indonesia yang mencakup hampir separuh populasi memainkan peran penting dalam menopang ekonomi rumah tangga, namun sebagian besar masih terkonsentrasi di sektor informal dengan pendapatan rendah (2). Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan secara konsisten lebih rendah dibandingkan laki laki, dengan kesenjangan pendapatan yang nyata baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan (3). Tanpa intervensi yang tepat, kondisi ini tidak hanya mempertahankan ketimpangan gender tetapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.
Berbagai strategi telah diterapkan, termasuk program pemerintah, inisiatif mikrofinansial, dan koperasi berbasis masyarakat (4). Walaupun memberi manfaat, efektivitasnya kerap terhambat oleh skala program yang terbatas, lemahnya penguatan kapasitas, serta kurangnya integrasi dengan konteks sosial budaya lokal (5). Sebagian program juga belum mampu mendorong perempuan keluar dari aktivitas ekonomi bersifat subsisten menuju usaha yang berkelanjutan (6). Hal ini menegaskan perlunya pendekatan inovatif yang mampu menggabungkan peluang ekonomi dengan penguatan kapasitas, kepemimpinan, dan modal sosial perempuan (7).
Penelitian ini berfokus pada pemberdayaan perempuan melalui inisiatif ekonomi lokal di KUB Batik Sekar, sebuah kelompok usaha perempuan di Desa Putat, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Grobogan. Lokasi ini dipilih karena memiliki dinamika yang mencerminkan tantangan umum pedesaan, seperti keterbatasan akses pasar, minimnya pelatihan, serta kurang optimalnya kapasitas produksi batik. Pada saat yang sama, daerah ini menunjukkan potensi budaya dan ekonomi yang dapat dikembangkan, terutama melalui keterampilan membatik yang telah diwariskan turun temurun. Penelitian ini menilai bagaimana pemberdayaan melalui KUB Batik Sekar meningkatkan kapasitas perempuan dalam produksi, manajemen, dan pemasaran batik, sekaligus memperkuat posisi sosial mereka di komunitas. Metodenya menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif melalui observasi, wawancara, dan analisis dokumen untuk menilai efektivitas program dan mengidentifikasi praktik terbaik (8). Tujuan penelitian adalah menyusun rekomendasi berbasis bukti yang relevan dengan kebutuhan lokal dan dapat mendukung kebijakan pemberdayaan perempuan di wilayah pedesaan Indonesia.
Penelitian ini menggunakan desain deskriptif kualitatif untuk mengeksplorasi pemberdayaan ekonomi perempuan melalui kegiatan produksi batik di Kelompok Usaha Bersama (KUB) Batik Sekar di Kabupaten Grobogan, Indonesia. Pendekatan ini dipilih untuk memberikan pemahaman menyeluruh mengenai dinamika sosial, praktik ekonomi kreatif, serta proses pemberdayaan yang berlangsung di tingkat komunitas. Desain ini juga memungkinkan peneliti mengidentifikasi praktik terbaik dan tantangan yang muncul dalam inisiatif pemberdayaan berbasis kelompok perempuan.
Populasi penelitian mencakup perempuan anggota KUB Batik Sekar yang terlibat langsung dalam proses produksi, manajemen, atau pemasaran batik. Teknik purposive sampling digunakan agar partisipan yang dipilih benar benar memiliki pengalaman relevan terkait proses pemberdayaan. Kriteria inklusi meliputi: [i] perempuan berusia 20–55 tahun, [ii] aktif menjadi anggota KUB minimal satu tahun, dan [iii] bersedia berpartisipasi secara sukarela. Pemerintah desa, perangkat kecamatan, dan tokoh masyarakat juga dilibatkan untuk memperkuat triangulasi data. Total 20 partisipan direkrut untuk mencapai saturasi tematik.
Penelitian dilakukan di Desa Putat, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Grobogan. Wilayah ini dikenal memiliki potensi kerajinan batik dan didominasi oleh perempuan yang bekerja di sektor informal. Subjek penelitian adalah KUB Batik Sekar, kelompok usaha perempuan yang berdiri sejak 2010 dengan dukungan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Grobogan. KUB ini berfokus pada produksi batik tulis sebagai sarana pemberdayaan ekonomi dan pelestarian budaya lokal.
Data diperoleh melalui wawancara semi terstruktur, observasi langsung, serta analisis dokumen. Panduan wawancara berisi pertanyaan tentang pengalaman, tantangan, dan strategi perempuan dalam mengembangkan usaha batik. Observasi dilakukan pada proses produksi, praktik organisasi, serta interaksi dalam komunitas. Dokumen yang dianalisis meliputi arsip KUB, laporan dinas terkait, dan catatan kegiatan kelompok. Seluruh wawancara dilakukan dalam Bahasa Indonesia dengan persetujuan partisipan dan direkam untuk ditranskripsi secara verbatim.
Sebelum pengumpulan data, peneliti memperoleh izin dari pemerintah desa dan KUB Batik Sekar. Partisipan mendapat lembar persetujuan tertulis yang menjelaskan tujuan penelitian, hak kerahasiaan, serta kebebasan untuk menghentikan partisipasi kapan pun. Informasi pribadi dijaga dengan menggunakan kode anonim.
Pengumpulan data dilakukan selama tiga bulan, yaitu Maret–Mei 2023. Setiap partisipan diwawancarai satu hingga dua kali dengan durasi 45–60 menit per sesi. Observasi lapangan dilakukan selama aktivitas usaha dan pertemuan komunitas untuk menangkap praktik kontekstual. Triangulasi data diperoleh melalui verifikasi silang antara wawancara, observasi, dan dokumen. Catatan reflektif peneliti disusun untuk meminimalkan bias dan meningkatkan kredibilitas temuan.
Analisis tematik dilakukan mengikuti enam langkah Braun dan Clarke: familiarisasi, pengodean, pembentukan tema, peninjauan, pendefinisian, dan pelaporan. Software NVivo 12 digunakan untuk membantu proses pengodean dan pengorganisasian data. Validitas data diperkuat melalui member checking, diskusi dengan sejawat, dan triangulasi antar sumber.
["Table", "Tabel 1. Tahapan pemberdayaan perempuan di KUB Batik Sekar.", "8pt", "1", "false"]
Tahap | Fokus Utama | Aktivitas Kunci | Dampak |
Penyadaran | Pengenalan program & motivasi | Sosialisasi, pelatihan awal, kunjungan industri | Perempuan menyadari potensi diri |
Pengkapasitasan | Peningkatan keterampilan & tata kelola | Pelatihan produksi, keuangan, musyawarah | Kualitas produksi & organisasi meningkat |
Pendayaan | Pemberian ruang untuk mengambil peran | Fleksibilitas kerja, peran ganda, produksi rutin | Kemandirian & pendapatan meningkat |
Capacity Building & Networking | Penguatan jejaring & keberlanjutan | Expo, kerja sama DKND, Disperindag | Pasar meluas & keberlanjutan terjamin |
Mayoritas perempuan di Desa Putat bekerja sebagai petani musiman atau buruh tanpa penghasilan tetap, sehingga kondisi ekonomi mereka relatif rentan. Melalui program pemberdayaan berbasis ekonomi lokal, KUB Batik Sekar berupaya memperkuat kapasitas perempuan agar lebih tangguh, mandiri, dan berdaya secara ekonomi. Praktik pemberdayaan ini tidak hanya meningkatkan keterampilan dan kemandirian perempuan, tetapi juga membuka peluang bagi mereka untuk berkontribusi lebih besar dalam pembangunan ekonomi keluarga dan masyarakat. Adapun proses yang dilakukan sebagai upaya pemberdayaan perempuan di Desa Putat dilakukan melalui beberapa tahapan (lihat Table 1), sebagai berikut:
tahap penyadaran, yaitu sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya program pemberdayaan berbasis batik tulis Grobogan. Sejak tahun 2010, Disperindag memberikan pelatihan kepada 25 perwakilan warga Desa Putat, dilanjutkan dengan kunjungan industri ke Solo dan Yogyakarta untuk meningkatkan motivasi dan keterampilan. Sebagaimana disampaikan Ibu Eni: “ya waktu itu ada perintah dari balai desa kalo mau diadakan pelatihan membuat batik, perwakilan desa putat 25 orang mbak, dilatih di kantor disperindag, setelah pelatihan diajak ke solo sama yogya kayak kunjungan industri gitu. Ini dalam rangka biar ibu-ibu desa putat punya motivasi bisa ketrampilan, punya usaha trus dapat penghasilan tambahan.”Tahap ini berhasil membuka wawasan masyarakat dan mendorong perempuan untuk menambah penghasilan keluarga, dengan memanfaatkan empat aspek sebagai berikut:
Pertama, aspek adaptation, yaitu penyesuaian diri anggota dengan aktivitas membatik di tengah kewajiban rumah tangga. Ibu Sri Hariyanti menegaskan, “dulu itu kan nganggur mbak di rumah, ndak ada sambenan, ndak ada kegiatan, ndak ada tambahan dari penghasilan suami. Lha mau ikut kerja orang ya susah. Wira-wiri lahopo. Akhire ono perintah saking disperindag kon melu latihan mbatik yah semangat. Asline durung iso opo-opo. Angger melu kulo mbak. Trus disanjangi mengko di gawe kelompok biar pada usaha membuat batik mbak. KUB Batik Sekar dibentuk niku dados saget sami mbatik teng kelompok penghasilane nggeh dadi enten, ya kudu iso mbagi ngurus umah, ngurus keluarga mbak.” Fleksibilitas aturan KUB memungkinkan anggota tetap menjalankan peran domestik sambil produktif membatik.
Kedua, aspek goal attainment menekankan pencapaian tujuan kolektif melalui kerja sama. Pesanan besar, seperti seragam dinas, dikerjakan bersama seluruh anggota sehingga berdampak pada peningkatan ekonomi keluarga. Ibu Warsini menyatakan, “Alhamdulillah adanya KUB Batik Sekar memberi manfaat bagi ibu-ibu Desa Putat mbak. Nanti kalo pas banyak pesenan seragam dari dinas-dinas, kan gak mungkin cuma dikerjakan satu-dua anggota dengan waktu singkat, nanti semua anggota ikut bekerja mbak bareng-bareng. Bisa nambah penghasilan bagi ibu-ibunya. Beda mbak dulu dengan sekarang, dulu masyarakat hanya mengandalkan gaji suami atau nunggu masa panen. Kadang ya sepi pesenan. tapi nek sepi banget ndak, ya lumayan, tidak ada pesenan anggota tetap membatik buat stok.”
Ketiga, aspek integration diwujudkan melalui kegiatan arisan, pengajian, rekreasi, dan musyawarah rutin yang memperkuat solidaritas. Hal ini sejalan dengan pernyataan anggota, “kita ini sudah menjadi saudara mbak, agar hubungannya lebih erat itu salah satunya dipupuk lewat musyawarah, meskipun tiap hari kita juga bertemu. Tapi kalo ngobrol waktu musyawarah itu lebih ngena gitu mbak buat KUB Batik Sekar lebih baik lagi.”
Terakhir, aspek latency atau pemeliharaan pola dilakukan dengan menumbuhkan rasa kekeluargaan, keterbukaan, dan kebersamaan dalam aktivitas sehari-hari. Ibu Sri Haryanti menuturkan, “ya kita ini selalu musyawarah dalam menentukan kebijakan. Kadang juga nek pas istirahat siang itu kita maem bareng. Kadang yo njajaknjajakne barang nek pas ada. Kita gak pernah membeda-bedakan endi sing pengurus endi sing anggota, kabeh ki pokoke podho wae.”
Secara keseluruhan, keberhasilan KUB Batik Sekar ditopang oleh empat aspek: adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan pemeliharaan pola. Keempatnya menciptakan harmoni sosial dan ekonomi, sehingga perempuan Desa Putat mampu berdaya, menambah penghasilan keluarga, serta berkontribusi dalam pelestarian batik Grobogan.
Tahap pengkapasitasan berfokus pada peningkatan keterampilan individu, organisasi, dan sistem nilai agar perempuan mampu menjalankan program pemberdayaan secara mandiri. Peserta memperoleh pemahaman mengenai produksi batik tulis, strategi pemasaran, manajemen keuangan, serta cara mengatasi berbagai kendala. Tolak ukur keberhasilan ditentukan melalui kemampuan mereka dalam menerapkan pengetahuan dan keterampilan tersebut secara konsisten.
Pada aspek produksi, motif batik Sekar dirancang oleh Ibu Sri Haryanti dan Bapak Agus, kemudian dipatenkan sebagai identitas kelompok. Motif-motif tersebut terinspirasi dari budaya Grobogan, seperti jagung, padi, kedelai, tembakau, hingga ikon lokal seperti “api abadi Mrapen” dan “bledug kuwu”. Proses produksi dilakukan setiap Senin–Sabtu di rumah produksi dengan tahapan mulai dari pembuatan pola, pencantingan, pewarnaan menggunakan remasol, hingga penguncian warna (water glass) selama enam jam. Seluruh anggota terlibat aktif dalam proses ini untuk memastikan kualitas produk. Setelah selesai, kain dicuci, direbus, dijemur, disetrika, dan dikemas untuk siap dipasarkan.
Pada aspek pemasaran, strategi awal dilakukan melalui promosi langsung ke kantor-kantor pemerintah maupun swasta, kemudian diperluas dengan partisipasi dalam pameran di berbagai ajang kabupaten. Dukungan regulasi berupa kewajiban penggunaan seragam batik Grobogan di instansi pemerintahan menjadi keuntungan tersendiri bagi KUB Batik Sekar. Produk ditawarkan dalam dua tingkatan kualitas, yaitu kain Primis dengan harga Rp170.000 dan Prima seharga Rp135.000, dengan variasi harga tergantung kompleksitas motif. Penjualan dilakukan melalui rumah produksi, galeri Paguyuban Batik Grobogan, maupun pemesanan daring.
Pada tahap ketiga adalah tahap pendayaan menekankan pentingnya pemberdayaan perempuan di Desa Putat, yang mayoritas memiliki keterbatasan pendidikan formal dan akses pekerjaan tetap. Seperti disampaikan oleh seorang anggota, “Di desa ini pemberdayaan bagi perempuan sangat penting mbak, banyak ibu-ibu yang nganggur dirumah ndak kerja. Kalo pas lagi masa tanam kami disawah mbak, tapi kalo sudah selesai masa tanam ya dirumah.Selesai masak, nyuci udah nganggur. Kalo ada kegiatan begini kan bisa dipake samben mbak. Lha mau gimana lagi mbak dulu juga ndak sekolah tinggi ndak bisa jadi pegawai kan mbak. Trus ada kegiatan membatik ini jadi ada kegiatan juga buat tambah-tambah penghasilan.” Melalui KUB Batik Sekar, yang telah berdiri lebih dari delapan tahun, perempuan setempat memperoleh peluang untuk mengembangkan keterampilan, meningkatkan produktivitas, serta mengelola kegiatan ekonomi secara mandiri tanpa sepenuhnya bergantung pada Disperindag maupun pemerintah.
Manfaat tahap ini tampak pada tiga aspek utama. Pertama, aspek ekonomi, di mana terbentuk lima KUB batik baru yang dipelopori anggota KUB Batik Sekar, sehingga membuka lapangan kerja dan meningkatkan kapasitas perempuan melalui pelatihan motif, pewarnaan, serta pemasaran. Kedua, aspek politik, di mana KUB “SEKAR” menjadi wadah kolektif untuk memperjuangkan kebutuhan perempuan, melatih keberanian berpendapat, serta memperkuat kerjasama. Ketiga, aspek sosial budaya, yakni meningkatnya posisi perempuan sebagai mitra sejajar laki-laki, sekaligus mampu menjalankan peran ganda sebagai ibu rumah tangga dan pencari tambahan penghasilan.
Dengan demikian, tahap pendayaan bukan hanya menghasilkan kemandirian ekonomi, tetapi juga mendorong perubahan sosial yang lebih inklusif dan setara bagi perempuan Desa Putat.
Tahap capacity building dan networking bertujuan memperkuat kapasitas perempuan Desa Putat melalui pelatihan teknis, manajerial, dan pengembangan jejaring usaha. Peserta diberi pemahaman menyeluruh mengenai proses produksi batik tulis Grobogan, mulai dari teknik, administrasi, hingga strategi pemasaran. Kegiatan ini difasilitasi oleh Disperindag Kabupaten Grobogan melalui pelatihan langsung, kunjungan industri ke Solo dan Yogyakarta, serta pendampingan berkelanjutan. Keberhasilan tahap ini tampak dari eksistensi KUB Batik Sekar hingga kini, yang ditopang oleh kerjasama kuat antara anggota kelompok dan mitra strategis.
Pada aspek pelatihan, Disperindag melakukan pengawasan, peninjauan, serta pembinaan agar KUB mampu melakukan pembukuan keuangan dengan benar, menentukan harga pokok produksi, meningkatkan kreativitas desain, dan memanfaatkan media sosial sebagai sarana pemasaran. Selain itu, KUB Batik Sekar secara aktif mengikuti expo ekonomi kreatif di tingkat kabupaten.
Dari sisi kemitraan, KUB Batik Sekar menjalin kerjasama dengan berbagai lembaga, seperti Dewan Kerajinan Nasional Daerah, BKK Purwodadi, UMKM Kabupaten Grobogan, serta Dinas Koperasi. Jaringan ini tidak hanya memperluas pemasaran melalui pusat produk lokal Grobogan (Gedung Dalmagi), tetapi juga membuka peluang promosi melalui kegiatan paguyuban yang rutin dilakukan. Melalui kemitraan tersebut, KUB Batik Sekar semakin dikenal luas, baik oleh masyarakat lokal maupun tamu dari berbagai daerah di Indonesia.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa perempuan Desa Putat mengalami perkembangan kapasitas yang signifikan melalui pelatihan produksi batik, manajemen keuangan, pemasaran, dan perluasan jejaring usaha. Perkembangan ini sejalan dengan teori pemberdayaan yang menekankan bahwa individu akan berdaya ketika memiliki akses terhadap pengetahuan, keterampilan, kontrol atas sumber daya, serta ruang untuk mengambil keputusan dalam kehidupan sehari-hari (9).
Dalam konteks KUB Batik Sekar, perempuan yang sebelumnya hanya bergantung pada pendapatan suami atau pekerjaan musiman mulai membangun otonomi ekonomi mereka sendiri. Kemampuan menghasilkan pendapatan tambahan, keberhasilan membentuk lima KUB baru, serta meningkatnya keberanian perempuan dalam mengambil keputusan merupakan indikator nyata bahwa proses pemberdayaan berlangsung secara efektif. Dengan kata lain, program KUB benar benar membuka kesempatan bagi perempuan untuk memiliki posisi tawar lebih kuat dalam keluarga maupun di komunitas.
Dinamika sosial dalam KUB Batik Sekar memperlihatkan keterkaitan yang jelas dengan teori AGIL Parsons (10). Pada tahap adaptasi, perempuan menyesuaikan diri dari peran sebagai ibu rumah tangga menuju peran baru sebagai pengrajin batik yang mampu membagi waktu antara pekerjaan domestik dan kegiatan produktif. Tujuan kolektif kelompok, seperti meningkatkan pendapatan dan melestarikan batik Grobogan, mencerminkan aspek goal attainment.
Aspek integrasi tampak dari rutinitas kelompok seperti musyawarah, arisan, serta kerja sama dalam menyelesaikan pesanan. Kegiatan tersebut memperkuat kohesi sosial di antara anggota. Sementara itu, nilai kekeluargaan, kebiasaan makan bersama, dan musyawarah rutin menunjukkan keberadaan fungsi latency yang menjaga pola interaksi tetap stabil. Keempat fungsi ini menunjukkan bahwa KUB tidak hanya menjadi wadah ekonomi, tetapi juga sistem sosial yang mampu bertahan lebih dari delapan tahun karena memiliki mekanisme internal yang kuat.
Pemberdayaan pada dasarnya merupakan proses peningkatan kapasitas kelompok yang lemah agar mampu memenuhi kebutuhan dasar dan mencapai kemandirian ekonomi, sosial, maupun budaya (11). Masyarakat yang berdaya akan lebih mampu memenuhi kebutuhan subsisten, seperti pangan, sandang, dan papan, serta membangun harmoni sosial yang lebih stabil.
KUB Batik Sekar di Desa Putat, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Grobogan, menjadi salah satu contoh nyata upaya pemberdayaan perempuan berbasis ekonomi lokal. Melalui kegiatan rutin produksi batik khas Grobogan, kelompok ini tidak hanya melestarikan warisan budaya daerah, tetapi juga membuka ruang bagi perempuan untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman baru yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Interaksi antaranggotanya, serta dukungan dari ketua kelompok, pembina, dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) sebagai pendiri, berperan penting dalam membentuk kepribadian, meningkatkan kepercayaan diri, dan mendorong kemandirian anggota.
Program pemberdayaan ini secara khusus bertujuan untuk meningkatkan kontribusi ekonomi perempuan yang sebelumnya bergantung pada pendapatan laki-laki dalam keluarga (12). Melalui pengembangan usaha batik, para anggota didorong untuk lebih kreatif, memperluas wawasan, dan mengoptimalkan sumber daya lokal (13). Dengan demikian, keberadaan KUB Batik Sekar tidak hanya berdampak pada peningkatan pendapatan rumah tangga, tetapi juga memperkuat posisi perempuan dalam aktivitas ekonomi lokal, serta meneguhkan batik Grobogan sebagai aset budaya sekaligus instrumen pembangunan masyarakat mandiri.
Proses pemberdayaan perempuan melalui KUB Batik Sekar dimulai dengan tahap penyadaran. Pada tahap ini, Disperindag bersama perangkat desa melakukan sosialisasi di balai desa untuk memperkenalkan program, memberikan pengetahuan dasar tentang produksi batik Grobogan, serta mengajak masyarakat, khususnya perempuan, untuk mengikuti pelatihan membatik. Sosialisasi ini berfungsi menumbuhkan kesadaran akan pentingnya peran perempuan dalam peningkatan ekonomi keluarga sekaligus pelestarian batik sebagai aset budaya lokal (14). Tanpa tahap ini, anggota akan kekurangan pemahaman yang memadai terkait produksi hingga pemasaran batik, sehingga keberhasilan program berisiko terhambat (15).
Dalam implementasinya, tahap penyadaran menuntut anggota untuk melewati empat fungsi utama sebagaimana dirumuskan dalam teori AGIL Parsons: adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan pemeliharaan pola (16). Pertama, adaptasi terlihat dari kemampuan anggota menyesuaikan diri, baik dari kondisi awal sebagai ibu rumah tangga atau penganggur menjadi pengrajin batik, maupun dalam membagi waktu antara pekerjaan, keluarga, dan kegiatan kelompok. Kedua, pencapaian tujuan diwujudkan melalui orientasi kolektif KUB Batik Sekar, yaitu memberdayakan perempuan agar memperoleh penghasilan tambahan sekaligus melestarikan batik Grobogan. Aktivitas seperti menerima pesanan, membuka pelatihan membatik, serta menjalin kerja sama dengan sekolah dan universitas diarahkan untuk mendukung tujuan ini.
Ketiga, integrasi tercermin dalam upaya menjaga solidaritas dan komunikasi yang baik antaranggota, dengan pemerintah desa, serta dengan KUB lain di Kabupaten Grobogan. Keharmonisan ini memastikan keberlangsungan organisasi. Keempat, pemeliharaan pola dilakukan melalui tradisi musyawarah bulanan, kegiatan makan bersama, dan penekanan pada nilai persaudaraan. Praktik-praktik ini menjaga motivasi anggota serta memperkuat komitmen terhadap kelompok.
Dengan demikian, tahap penyadaran tidak hanya berfungsi sebagai transfer pengetahuan, tetapi juga sebagai proses internalisasi nilai, adaptasi sosial, dan pembentukan solidaritas yang menjadi dasar bagi keberhasilan pemberdayaan perempuan di Desa Putat (17).
Tahap pengkapasitasan berfokus pada peningkatan kapasitas anggota agar mampu berproduksi secara optimal dan mandiri (18). Di KUB Batik Sekar, proses ini dilaksanakan melalui mekanisme kerja yang fleksibel dan adaptif terhadap kebutuhan anggota, terutama perempuan yang masih memiliki tanggung jawab domestik maupun pertanian. Sistem aturan yang longgar memungkinkan anggota tetap dapat menjalankan kewajiban keluarga atau pekerjaan lain tanpa kehilangan keanggotaan, meskipun hal tersebut berimplikasi pada besaran pendapatan yang diterima (19).
Selain kegiatan membatik sebagai aktivitas inti, tahap pengkapasitasan juga diperkuat dengan forum musyawarah rutin bulanan. Pertemuan ini berfungsi sebagai sarana evaluasi, transparansi keuangan (pemasukan, pengeluaran, dan kas), serta wadah penyampaian saran dan masukan dari seluruh anggota (20). Dengan cara ini, pengembangan kapasitas tidak hanya terletak pada peningkatan keterampilan teknis membatik, tetapi juga pada pembentukan tata kelola organisasi yang partisipatif dan akuntabel.
Tahap pendayaan dimaknai sebagai proses pemberian ruang, kesempatan, dan otoritas bagi anggota untuk mengembangkan potensi diri sesuai kapasitas masing-masing (21). Dalam konteks KUB Batik Sekar, tahap ini memungkinkan anggota tidak hanya fokus pada produksi batik, tetapi juga menjalankan aktivitas lain yang dapat meningkatkan keterampilan, pengetahuan, pendapatan, serta memperluas wawasan sosial, politik, dan budaya.
Penerapan prinsip pendayaan di KUB Batik Sekar memberikan fleksibilitas bagi anggota untuk tetap produktif di bidang lain, misalnya mengelola lahan pertanian. Dengan demikian, perempuan anggota KUB dapat memperoleh tambahan penghasilan dari sektor pertanian tanpa harus meninggalkan kegiatan membatik. Kebijakan ini memperlihatkan kesesuaian antara praktik di lapangan dengan teori pemberdayaan yang menekankan pentingnya perluasan kapasitas dan kesempatan bagi individu untuk mandiri secara ekonomi sekaligus berperan aktif dalam lingkungan sosialnya.
["Table", "Tabel 2. Matriks analisis SWOT KUB Batik Sekar.", "8pt", "1", "false"]
Strengths (S) | Weaknesses (W) |
Kesesuaian visi-misi dengan kondisi sosial | Koordinasi antar pengrajin belum optimal |
SDM kreatif & terampil | Jumlah SDM terbatas |
Dukungan Disperindag & fasilitas pelatihan | Jiwa kewirausahaan rendah |
Motif khas Grobogan, identitas kuat | Minim pengetahuan pemasaran digital |
Pemanfaatan teknologi produksi | Sarana pelatihan kurang memadai |
Opportunities (O) | Threats (T) |
Dukungan pemerintah & regulasi batik Grobogan | Persaingan pasar batik semakin kuat |
Lokasi strategis | Minimnya penggunaan media sosial |
Antusiasme masyarakat | Kegiatan paguyuban kurang maksimal |
Kenaikan permintaan seragam batik | Efektivitas pelatihan yang tidak merata |
Tahap capacity building dan networking berfokus pada peningkatan keterampilan teknis serta perluasan jejaring kemitraan (22). Anggota KUB Batik Sekar memperoleh pelatihan langsung dari Dinas Perindustrian melalui Kepala Bagian Industri, yang mencakup aspek produksi, manajemen, hingga pemasaran batik tulis Grobogan. Untuk memperkuat pemahaman praktis, anggota juga difasilitasi mengikuti kunjungan industri ke sentra batik di Solo dan Yogyakarta.
Melalui kombinasi pelatihan dan studi lapangan tersebut, para anggota tidak hanya menguasai teknik membatik yang lebih baik, tetapi juga mendapatkan wawasan tentang strategi pemasaran dan pengembangan kemitraan. Proses ini memungkinkan perempuan di Desa Putat meningkatkan kapasitas individual sekaligus memperluas jejaring sosial-ekonomi, yang pada akhirnya mendukung keberlanjutan program pemberdayaan berbasis ekonomi lokal (23).
Pemberdayaan pada hakikatnya merupakan proses yang memungkinkan individu memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kapasitas untuk mengontrol serta memengaruhi kehidupan pribadi maupun komunitasnya (24). Dalam pelaksanaannya, keberhasilan program pemberdayaan selalu ditentukan oleh kombinasi faktor pendukung dan penghambat. Faktor pendukung berperan penting dalam memperlancar pencapaian tujuan, sedangkan faktor penghambat berpotensi menghambat keberlanjutan program sehingga memerlukan strategi penanganan yang tepat (25).
Dalam konteks KUB Batik Sekar di Desa Putat, analisis faktor pendukung dan penghambat dilakukan dengan pendekatan SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) (lihat Tabel 2). Pendekatan ini digunakan untuk mengidentifikasi kekuatan internal yang dapat dioptimalkan, kelemahan yang harus diminimalisasi, peluang eksternal yang dapat dimanfaatkan, serta ancaman yang perlu diantisipasi (26). Dengan demikian, analisis ini memberikan gambaran komprehensif mengenai kondisi aktual KUB Batik Sekar sekaligus menjadi dasar perumusan strategi pengembangan masyarakat melalui pemberdayaan perempuan berbasis ekonomi lokal.
Keberhasilan program pemberdayaan perempuan melalui KUB Batik Sekar di Desa Putat didukung oleh sejumlah faktor internal dan eksternal. Pertama, kesesuaian visi dan misi KUB dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat menjadi dasar yang kuat dalam menjalankan program. Peran Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) sebagai fasilitator juga signifikan, terutama dalam penyediaan permodalan bahan baku, pelatihan, dan promosi produk. Dukungan ini diperkuat dengan pembaruan motif batik serta kerja sama dalam upaya pelestarian budaya lokal sekaligus pengembangan ekonomi daerah.
Kedua, kualitas sumber daya manusia menjadi faktor penting. Semangat, kreativitas, dan keuletan para anggota mendorong keberlanjutan usaha, sementara adanya program pelatihan khusus bagi perempuan meningkatkan keterampilan dan kapasitas mereka. Perkembangan teknologi yang mulai diterapkan di KUB turut mendukung efisiensi produksi.
Ketiga, faktor eksternal juga berperan besar. Lingkungan politik yang relatif stabil dan dukungan pemerintah kabupaten memberikan jaminan keberlangsungan program. Kondisi ini ditunjang oleh sikap optimistis masyarakat setempat, lokasi KUB yang strategis, serta peningkatan jumlah pengrajin batik di Grobogan. Dampak positif lain yang terlihat adalah bertambahnya pendapatan anggota, terutama perempuan, yang semakin memperkuat kontribusi mereka terhadap ekonomi keluarga dan komunitas.
Analisis SWOT KUB Batik Sekar menunjukkan bahwa faktor internal terbagi ke dalam kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses). Pada bagian kekuatan (Strengths). Program pemberdayaan perempuan di KUB Batik Sekar didukung oleh sejumlah faktor internal yang signifikan. Pertama, kesesuaian visi dan misi dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat menjadikan program lebih relevan dan mudah diterima. Kedua, kualitas sumber daya manusia relatif baik, tercermin dari semangat, keterampilan, dan kreativitas anggota. Ketiga, adanya dukungan fasilitas promosi dari Disperindag, termasuk pembaruan motif batik serta kerja sama dalam pelestarian budaya, turut memperkuat daya saing produk. Keempat, penyelenggaraan pelatihan bagi pengembangan sumber daya manusia menjadi instrumen penting dalam peningkatan kapasitas. Terakhir, pemanfaatan teknologi yang semakin berkembang mendukung proses produksi dan pemasaran.
Di sisi lain, terdapat beberapa kelemahan yang perlu diatasi. Pertama, koordinasi antar pengrajin batik di tingkat kabupaten belum berjalan optimal, sehingga mengurangi potensi sinergi dalam pengembangan pasar. Kedua, jumlah sumber daya manusia yang terlibat masih terbatas dan belum mampu memenuhi kapasitas produksi yang lebih besar. Ketiga, jiwa kewirausahaan anggota relatif rendah, sehingga membatasi kemampuan mereka dalam mengelola usaha secara mandiri. Keempat, pengetahuan tentang pemasaran digital masih minim, menyebabkan akses pasar yang terbatas. Terakhir, sarana penunjang pelatihan belum memadai, sehingga kegiatan peningkatan kapasitas tidak dapat berlangsung secara maksimal.
Analisis SWOT menghasilkan sejumlah strategi yang dapat digunakan untuk memperkuat keberlanjutan KUB Batik Sekar di Desa Putat.
KUB Batik Sekar diuntungkan oleh lingkungan politik yang stabil, adanya komitmen pemerintah kabupaten dalam pengembangan Batik Grobogan, meningkatnya pendapatan pengrajin, serta dukungan sikap optimistis masyarakat terhadap program pemberdayaan perempuan. Selain itu, lokasi KUB yang strategis memperkuat potensi pasar dan aksesibilitas.
Untuk memanfaatkan peluang dengan mengoptimalkan kekuatan internal, KUB perlu meningkatkan kerja sama lintas sektor usaha dan memperluas pelibatan masyarakat dalam pengembangan industri batik. Peran aktif stakeholder, baik pemerintah, masyarakat, maupun sektor swasta, harus diperkuat guna mendorong penjualan produk batik serta mengoptimalkan pengelolaan Batik Grobogan sebagai motor penggerak ekonomi lokal.
Dalam rangka mengatasi kelemahan internal dengan memanfaatkan peluang eksternal, langkah yang dapat dilakukan adalah mengajukan tambahan alokasi anggaran kepada Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) serta menyelenggarakan pelatihan rutin dan berkesinambungan untuk meningkatkan kapasitas pengrajin.
Beberapa tantangan yang dihadapi meliputi minimnya pemanfaatan media sosial oleh anggota KUB, rendahnya efektivitas kegiatan pelatihan, dan kurangnya peran paguyuban dalam mempersatukan pengrajin batik di Kabupaten Grobogan.
Untuk menghadapi ancaman dengan mengandalkan kekuatan internal, KUB dapat mengadakan pelatihan pemasaran digital guna memperluas jangkauan pasar, serta mengaktifkan kembali fungsi paguyuban sebagai wadah koordinasi dan solidaritas antar pengrajin.
Guna meminimalkan kelemahan internal sekaligus mengantisipasi ancaman eksternal, diperlukan peningkatan sarana dan prasarana penunjang, khususnya fasilitas pelatihan dan promosi, agar daya saing KUB Batik Sekar semakin kuat di tengah kompetisi industri batik.
Penelitian ini menunjukkan bahwa program pemberdayaan perempuan melalui KUB Batik Sekar di Desa Putat tidak hanya meningkatkan keterampilan teknis, pendapatan, dan kepercayaan diri perempuan, tetapi juga memperkuat posisi mereka dalam pengambilan keputusan keluarga dan komunitas. Proses pemberdayaan berjalan melalui empat tahap utama, yaitu penyadaran, pengkapasitasan, pendayaan, serta capacity building dan networking, yang terbukti efektif mendukung perempuan beralih dari pekerjaan musiman menuju aktivitas ekonomi yang lebih stabil.
Analisis SWOT memperlihatkan bahwa keberhasilan KUB Batik Sekar ditopang oleh kekuatan berupa semangat anggota, dukungan pemerintah, identitas budaya batik Grobogan, serta akses pelatihan. Peluang eksternal juga mendorong perkembangan usaha, sementara kelemahan seperti keterbatasan pemasaran digital dan ancaman berupa persaingan pasar dapat diatasi melalui strategi penguatan jejaring, digitalisasi pemasaran, optimalisasi paguyuban, serta peningkatan fasilitas pelatihan.
Secara teoretis, temuan penelitian memperkuat konsep pemberdayaan yang menekankan penguasaan keterampilan dan peningkatan kontrol perempuan terhadap sumber daya ekonomi. Secara praktis, model pemberdayaan KUB Batik Sekar dapat direplikasi pada komunitas perempuan lain dengan memadukan pelatihan, dukungan kemitraan, penguatan organisasi, serta strategi pemasaran berbasis potensi lokal. Dengan demikian, KUB Batik Sekar berfungsi sebagai model pemberdayaan perempuan yang mampu mengembangkan kapasitas individu, memperkuat ketahanan ekonomi keluarga, dan mendorong transformasi sosial berbasis budaya lokal.